Jumat, 26 Desember 2008

Filsafat Gila

Filsafat Gila dan Gila Berfilasafat
(Oleh: Ridho Ramadhan Nasution)*

“Ini adalah sebuah kegelisahan yang dikomunikasikan oleh seseorang, yang begitu gelisah dengan keyakinannya selama ini, seorang sahabat dari penulis, yang mencoba mempertanyakan eksistensi Tuhan.”

Prolog
Sebuah hal yang dia pikir begitu mengusik pemikiran dan batinnya, tentang pertanyaan menyangkut keberadaan zat yang lebih tinggi, yang mereka namakan dengan ‘Tuhan’. Pertanyaan ini kembali timbul ketika orang mengaku sebagai saudara seimannya begitu khawatir, karena dia hidup pada lingkungan yang mereka katakan dapat ‘memurtadkan’ dirinya. Apa yang mereka pahami tentang keberadaan sebuah eksistensi diri yang lebih tinggi, dimana mereka katakan bahwa ‘jalur’ hidup ini telah begitu syahdu diatur, dan tugas serta fungsi mereka sebagai sebuah objek kehidupan hanya menjalankan tanpa tahu apa yang menjadi sebuah tujuan akhir, selain sebagian sesuatu ‘nasib’ namanya, takdir, mati, dan mendapatkan tempat dimana mereka dilahirkan kembali, sebuah bayangan yang mereka katakan dengan kehidupan akhirat. Senyum, adalah sebuah jawaban darinya, karena, dia juga tidak mengetahui kenapa keyakinan mereka begitu palsu, hidup pada sebuah dunia yang sempit dan gandrung akan sebuah simbolitas-simbolitas yang telah usang. Mereka yang hidup pada sebuah dunia ‘mitologi’ yang begitu dibatasi sebuah kefanaan kehidupan dan kenaif-an manusia. Mereka hanya yakin akan sebuah kebenaran dogmatis tanpa sebuah alasan yang kritis dan memiliki relasi, dia sampaikan bayangkan mereka tidak akan menerima bahwa seseorang yang tersesat, akan dapat melakukan hal-hal yang bijaksana. Seperti halnya dirinya yang selalu bertanya, kenapa dia harus percaya ‘Tuhan’.

Dialog dengan ide-ide abstrak
Siapa yang dapat mendeskripsikan apa itu Tuhan selain sebuah gambaran yang penuh penafsiran dan kesesatan dalam berpikir, sesuatu yang dapat mereka rasakan, tapi indera mereka tidak dapat menalarkannya, karena tidak seorang pun dapat merasakan sebuah ‘sensasi’ inderawi terhadap eksistensi materi terhadap zat yang lebih tinggi dari akal manusia tersebut. Sebuah keyakinan yang dibentuk melalui komunikasi dan cerita yang terus-menerus terulang, seperti sebuah deskripsi tentang ‘Tuhan’ dalam taraf sebuah ide-ide yang abstrak (universal). Sekali lagi dia ingin pertanyakan, deskripsi ‘Tuhan’ melalui cerita-cerita, yang memiliki relasi dan membentuk keyakinan akan sebuah keberadaan, apakah dapat dibenarkan. Atau karena mereka tidak punya deskripsi lain untuk menjelaskan Tuhan, agar dapat dinalarkan, hal ini dapat dijadikan contoh, kata dirinya, seseorang yang bernama andi tolong dideskripsikan?, pasti sebelum menjawab pertanyaan kita akan mulai bertanya, andi yang mana, apa andi yang berada dalam komunitas A, lalu kemudian bertanya apa andi yang dengan ciri B, kesemuanya akan memiliki relasi antara fakta-fakta yang ada sehingga kita dapat mendeskripsikan siapa andi. Katanya coba mereka mulai diberi pertanyaan lagi, apa ‘Tuhan’, pasti mereka tidak akan bertanya kembali dan langsung menjawab, Tuhan menurut kitab A adalah “.......”, sebuah hal yang begitu perseptual menurutnya, yang dinamakannya sebuah hal yang dogmatis dan tidak dapat kita pertanyakan atau sedikit pun tidak dapat dipertentangkan.
Mereka mungkin dapat mendeskripsikan siapa andi, tapi coba dipertanyakan seperti apa andi, adakah yang memahami pemikiran andi kecuali dirinya sendiri, kalau andi tersenyum apa dapat kita yakini dia sedang bahagia, atau saat andi begitu akrab dengan kita justru dia tidak lain adalah teman kita. Maka kita akan mengalami kesulitan memahami pemikiran andi, kata sahabat penulis. Seperti itulah dunia kita begitu sempit dan penuh kefanaan, kita dapat menggambarkan andi, tinggi, berwajah rupawan, tubuhnya wangi, sebuah data-data inderawi yang kita dapatkan melalui ‘sensasi’ yang mungkin berbeda, tapi saat kita mematikan rasa indera kita, apa andi masih ada pengetahuan kita. Jawabnya; Andi masih ada dalam ingatan kita, tapi menjadi pengulangan pertanyaan saat Andi telah melekat dalam pikiran kita, apa itu ide?, mungkin tidak. Karena ingatan dan ide yang terkandung didalamnya merupakan refleksi dari materi yang kita telah rasakan sensasinya. Yang menjadi pertanyaan, saat kita tidak pernah merasakan sebuah data-data indera tentang ‘Tuhan’.
Kenapa mereka begitu percaya?, tapi menurutnya yang mereka percaya sesungguhnya bukan ‘Tuhan’ tapi hanya cerita-cerita maupun dalil-dalil yang berulang kali disampaikan sampai kita tidak meragukan sedikit pun sebuah keberadaan. Apa ‘Tuhan’ sesuatu yang begitu mistis?, yang mereka yakini hadir melalui cerita yang berulang-ulang, dan dipahami telah mengatur masa depan yang lalu dan masa depan yang akan dijalani. Dapat dikatakan bahwa ada sebuah ‘kepalsuan telanjang’ kata sahabat penulis, seperti kita merasa kenal dengan andi kita mampu memahaminya melalui objek fisiknya tapi tidak mampu memahami sebuah keterkaitan dari sebuah mental.
Kenapa kita begitu yakin andi adalah seorang yang begitu bersahabat, tanpa kita paham apa yang membentuk diri andi, bisa jadi andi seorang yang memiliki tekanan psikis dan berbalut ‘topeng besi’ yang kita kenal sekarang. Adakah kemungkinan sebenarnya andi adalah seorang ‘pembunuh’, inilah dinamakan sebuah pengenalan intuitif. Sama halnya apa yang mereka maksud dengan ide-ide abstrak ‘Tuhan’, ada seseorang yang menjawab pertanyaan dia ini dengan “Tuhan hanya ada dipikiran, kalau kita tidak pikirkan Tuhan ada, maka Tuhan tidak ada. Tuhan ada kalau kita meyakini ada”, dan kembali ada yang menjawab “Kita hanya bisa rasakan Tuhan ketika kita sendiri dalam penat dan tertekan, serta suka berbahagia, dalam hening malam, seperti udara yang bisa dihirup tapi tidak dapat dilihat tanpa seorang dapat mengerti”.

Epilog
Coba kita lihat satu per-satu kata sahabat penulis, “..., Pertama, Tuhan ada kalau kita meyakininya”, menjadi sebuah pertanyaan kembali, bagaimana cara mereka meyakininya, sedang mereka dalam tahap deskripsi ‘Tuhan’ begitu dogmatis, percaya akan cerita yang dibawakan oleh seseorang, yang mereka katakan si pembawa ‘pesan Tuhan’, tanpa ada sebuah pemikiran kritis dan mereka begitu percaya dengan seorang atau beberapa orang yang ‘terpilih’ buat merasakan sensasi bertemu dengan ‘Tuhan’. Pada hakikatnya manusia begitu penuh kenaif-an dan hidup didunia yang fana, apa mereka yakin pula dengan keberadaan seseorang atau beberapa orang, yang telah mengalami sebuah perjalanan pemikiran, menjadikan mereka yakin terhadapnya, karena mereka hanya berkenalan dengan mereka lewat beberapa ‘pesan’ melalui kitab-kitab yang ada. Sama halnya dengan sebuah ruang pemikiran yang dapat selalu di-kritisi, kenapa tidak ada tangan yang kentara untuk mengkritisi ‘pesan-pesan Tuhan’ yang telah disampaikan melalui alam pemikiran manusia.
Kedua, mereka akan kembali menjawab, Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, dan bersifat wujud saat kita yakin kepadanya, dan dapat dirasakan saat mereka berlimpah ‘makna’, mereka bersyukur, saat mereka surut ‘makna’ akan mengadu melalui kata-kata, yang mereka katakan sebagai do’a, obat yang paling mujarab. Sama seperti jawaban yang kedua “Kita hanya bisa rasakan Tuhan ketika kita sendiri dalam penat dan tertekan serta suka berbahagia dalam hening malam...”, jadi mereka memang benarkan, ‘Tuhan’ hanya suplemen dari esensi kehidupan, ada disaat mereka membutuhkannya untuk pelengkap ruang pikiran yang kosong dan fana. Atau memang manusia sendiri adalah ‘Tuhan’ bagi dirinya. Karena tidak ada yang membatasi dirinya dari sesuatu yang dianggap tidak bijaksana kecuali materi dan refleksi ide-ide dalam penalarannya sendiri, manusia sendiri yang membuat sejauh mana batasan penalarannya, yang tidak mampu mencari sebuah nilai dan akal budi kehidupan dari sebuah pemikiran yang kritis.
Selanjutnya menjadi pertanyaan bagi mereka, apa dia, sahabat penulis, layak berdiri ditengah mereka, karena dia ibarat orang yang telah dianggap gila, ini dapat dipahami dengan relasi-relasi masa depan yang lalu. Dimana orang-orang yang mempertanyakan hal-hal di luar ruang penalaran mereka akan dianggap ‘sebjek’ yang gila dan lebih baik dianggap mati. Kawan dengan segala kenaif-an dirinya sebagai manusia, bukan berarti dia menolak segala mental dari luar ruang dirinya. Kalau pun kalian menganggap dirinya sedang dalam sebuah sesat dalam berpikir, maka jawablah kenapa dia harus percaya ‘Tuhan’, dengan jawaban yang dapat diterima oleh kenaifan dirinya dengan segala keterbatasan penalaran dirinya. Kalau mereka dapat mengeluarkan dia dalam ruang-ruang pikir dan nalarnya sekarang maka bahwalah dia dengan syahdu. Dia bukan ingin mereka lantas mengusirnya dari tempat-tempat yang dianggap suci, dan dia dianggap ‘najis’nya. Tapi ajarkan dia disana untuk merasakan sensasi inderawinya untuk berkenalan dan percaya kepada zat yang lebih tinggi dan agung, yang mereka namakan “TUHAN”.

* * *

*) Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) cab. Kota Medan

Komunis di Indonesia

Palu-Arit di Tanah Indonesia
Oleh : Ridho Ramadhan Nasution *

Gerakan 30 September atau dikenal dengan “Gestapu”, mengisyaratkan tentang sebuah konspirasi politik dalam hal penggulingan kekuasaan era Soekarno. Sebuah Coup-deta terhadap kepemimpinan Soekarno yang begitu hebat-hebatnya menolak keberadaan Kapitalisme Global yang di bahasakan oleh Soekarno sebagai sebuah Imperialisme Modern. Tulisan ini tidak mengkaitkan keberadaan Soekarno di tubuh Komunis Indonesia, terlebih lagi keterlibatan Komunis Indonesia atau Soekarno dalam sebuah cidera politik bangsa ini yaitu Gestapu. Tetapi lebih kepada pertanyaan; siapa dan apa itu golongan Komunis Indonesia?.
Lahirnya Komunis Indonesia
Karl Marx menyatakan bahwa sejarah merupakan perjuangan kelas. Ketika konsep ini diadopsi ke tanah air oleh beberapa orang, antara lain; Sneevliet, Semaun, Tan Malaka; rakyat pun banyak yang menerima gagasan ini dengan tangan terbuka. Mereka menganggapnya sebagai sebuah kebijaksanaan yang arif dari para pemimpin-pemimpinnya yang pintar, semuanya mereka percayai akan membawa kebaikan dalam kehidupannya. Maka jadilah sebuah konsep Sosialis ala Marx yang dieliminir lagi oleh suatu gerakan bernama Komunis dan secara konkrit termanifestasikan di dalam tubuh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda.
Keadaan buruk yang terjadi pada tahun-tahun 1917-1918 tidaklah disangkal oleh berbagai organisasi Pergerakan Indonesia, baik yang berhaluan Revolusioner maupun Ko-operatif, bahkan pihak kolonial Belanda pun tidak dapat menyangkal keadaan Hindia Belanda yang mengalami kemiskinan dan kelaparan pada masa itu. Keadaan sosial yang buruk merupakan tantangan bagi pemikir politik sosial Indonesia. Mereka mulai mencari solusi terhadap latar belakang kondisi sosial yang pincang ini dan saling mengajukan berbagai konsep untuk menyelesaikannya.
Kelompok Marxis mengajukan sebuah konsep dalam membahas realitas sosial ini, dan tokoh utamanya adalah Hendricus Fransiscus Marei Sneevleit, ketua ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDVnya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda, mulai dari Semaoen, Alimin, Musso dan H. Misbach. Dari Sneevliet lah mereka belajar menggunakan analitis Marxis untuk memahami realitas sosial yang dialami. Mereka berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari Struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu Struktur masyarakat tanah jajahan yang diperbudak oleh kaum kapitalis.
Paham komunisme muncul di Nusantara dihantarkan oleh seorang bernama; Hendricus Josephus Prancisius Marie Sneevliet lewat ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) yang dideklarsikan di Semarang pada Mei 1914. ISDV, Persatuan Sosialis Demokrat di Hindia Belanda semangkin menemukan bentuk perlawanannya terhadap Imperium Belanda dan untuk memperluas pengaruhnya, kemudian kaum muda ISDV melakukan infiltrasi kedalam tubuh sarekat Islam (SI). Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Alimin yang masih berusia muda bersama kawan-kawan muda lainnya mulai menarik garis perjuangan yang tegas dengan memberikan pengaruh terhadap anggota dan pimpinan yang berasal dari golongan muda Sarekat Islam.
Sesudah mempengaruh SI (Sarekat Islam) lalu muncullah sempalan SI yang dikenal dengan Sarekat Islam Merah atau Sarekat Rakyat, hingga kepada lahirnya Perserikatan Komunis di Hindia Belanda pada tanggal 23 Mei 1920 yang diketuai Semaun. Dalam kongres Juni 1924, nama PKH di ubah menjadi PKI, partai progressif modern pertama yang lahir di Indonesia. Propaganda yang mereka sampaikan dan bawakan kepada rakyat merupakan perlawanan yang didasarkan kepada mitos Ratu Adil, Marxisme yang ternyata mampu menarik perhatian hati Buruh dan Tani yang pada saat itu memang sangat menderita, untuk lepas dari ‘perbudakan’ Imperialisme.
Kampanye Progressif dan Pemberontakan 1926
Sebagai sebuah golongan yang progressif, maka Komunis Indonesia kerap melakukan berbagai pemberontakan dan perlawanan dalam rangka mengusir pihak kolonial Belanda dari tanah Indonesia. Kampanye agresif yang dilakukan oleh Komunis Indonesia pada kurun waktu 1926-1927 memang telah memikat rakyat kecil. Untuk mendapatkan dukungan dari kaum tani maka PKI (Partai Komunis Indonesia) mengajukan sebuah konsepsi pemikiran yang membawa rakyat pada sebuah perbaikan nasib dengan mengusung kemerdekaan dari penjajahan Kolonial Belanda dan berlanjut kepada sebuah pelaksanaan Landreform. Sedangkan untuk memperoleh dukungan dari golongan buruh, diselenggarakan kegiatan-kegiatan untuk kesejahteraan sosial dengan program pemberantasan buta huruf dan pelatihan kerajinan, dan seni drama, di samping tugas pokok untuk menyelenggarakan kursus politik dan penggalangan kekuatan.
Pemberontakan Desember 1926 yang direncanakan melalui pertemuan Prambanan pada Mei 1926 yang memutuskan untuk melakukan pemberontakan di Sumatera. Pemberontakan yang dipersenjatai lengkap dan direncanakan untuk mengusir kolonial Belanda di daerah pegunungan sekitar Padang pun pecah. Tapi pemberontakan ini hanya bertahan 2 minggu, karena selanjutnya KNIL, tentara bentukan Hindia Belanda, berhasil mengendalikan suasana. Pada akhirnya kudeta yang direncanakan dan dilancarkan ini tidak banyak artinya. Akibat dari pemberontakan ini, kira kira 13.000 orang ditahan,. Dan lebih dari 800 orang diasingkan dan berita ini selanjutnya ditambah dengan dilarangnya PKI dan gerakan buruh yang sealiran di zaman Hindia Belanda.
Pemberontakan yang terjadi di Silukang, Sumatera Barat, pada 1926, yang Gerakannya dimotori oleh PKI (Partai Komunis Indonesia), menjadikan tahun 1926-1927 adalah tahun permulaan berbagai reaksi perjuangan kekuatan revolusi mengusir kolonial Belanda. Masa-masa dimana juga memuncaknya ide perjuangan dan persatuan dalam menggalang kekuatan-kekuatan revolusi untuk menentang kolonial Belanda. Ini adalah yang dalam pemikiran Soekarno sebagai memuncaknya gerakan rakyat yang revolusioner dan keharusan dalam menyatukan kekuatan yang sedang memuncak tersebut. Sebuah persatuan yang harus di dorong untuk mencapai Indonessia Merdeka.
Sedikit Tentang Cidera Politik ’65
Sedikit mengenai kesejarahan komunis di Indonesia, diluar, apakah paham Komunisme itu bertentangan dengan kondisi Ke-Indonesi-an, bahwa pergolakan untuk merebut kemerdekaan negeri ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan progressif yang dilancarkan oleh golongan Komunis Indonesia. Hanya saja sebuah penistaan politik dan stigmaisasi pada peristiwa Gestapu 1965, dimana PKI “dituduh” sebagai dalangnya telah membawa sebuah perubahan besar di dalam perpolitikan Indonesia. Mereka yang dituduh PKI, sengaja dibunuh dan dihabisi, dipenjara tanpa ada proses pengadilan. Memberangus golongan komunis pada era itu dianggap sebagai sebuah tindakan yang diperbolehkan dan dianggap baik.
Soekarno, setelah meletusnya peristiwa Gestapu dipaksa untuk membubarkan PKI, tapi ternyata PKI tidak dibubarkan oleh Soekarno. Menjadi pertanyaan, kenapa Soekarno tidak mau melakukannya.?, apakah Soekarno begitu harmonis dengan golongan Komunis Indonesia. Ada sebuah asumsi yang hadir dari begitu peliknya konspirasi politik di pertengahan tahun 1965 ini. Pertama, Soekarno tidak membubarkan PKI, karena hanya partai ini, di masa kepemimpinan Soekarno, yang begitu revolusioner untuk menutup ruang masuknya kapitalisme melalui modal asing ke Indonesia. Kedua, PKI merupakan jalan dan kunci untuk mempertahankan kekuatan politik Indonesia di dunia Internasional melalui kedekatan Indonesia dengan Cina dan Uni Sovjet, yang didukung dengan poros Jakarta-Peking-Pyongyang, sebagai pembendungan terhadap masuknya pengaruh Imperialisme modern di Asia.
Selanjutnya bagaimanakah pandangan Soekarno mengenai Komunisme Indonesia.?, Kenapa dia menggunakan konsepsi pemikiran sosio nasionalisme dan sosio-demokrasi.?, yang begitu dekat dengan cita masyarakat komunal. Hal ini terangkum di dalam DBR Jilid-I hal 175-176, sebagai berikut; “Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi bukanlah angan-angan komunis. Pernah saya terangkan, bagaimana seorang pemimpin, Jean Jaures yang bukan komunis, juga menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan didalam salah satu karanganya saja dulu sudah dikatakan pula, bahwa juga Dr. Sun Yat Sen mencela ‘demokrasi’ ala Revolusi Perancis atau ala Inggeris, Nederland dll. Itu. Pun pemimpin pemimpin lain sebagai Gandhi, Nehru-muda, dll., mencela demokrasi yang demikian. Memang orang tak susah untuk menjadi komunis, buat melihat didalam negeri-negeri ‘demokrasi’ itu, sebahagian besar dari kaum rakyat adalah tertindas oleh kapitalisme. Orang tak susah menjadi komunis buat melihat bahwa ‘demokrasi’ negeri-negeri itu adalah demokrasi borjuis saja. Kontra angan-angan demokrasi borjuis ini kaum marhaen harus bercita-cita dan menghidup-hidupkan sosio demokrasi, yakni demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan kontra nasionalisme borjuis kita taruhkan kita punya nasionalisme.”
Kesimpulan yang dapat ditelaah apabila kita memahami siapa itu Soekarno dan Komunis Indonesia, dan apa yang menjadi pemikirannya adalah; Pertama, Komunis Indonesia di pahami sebagai sebuah golongan yang secara konsisten terus melakukan perlawanan terhadap Kapitalisme dan berkembangnya Imperialisme modern di tanah Asia. Kedua, dalam politik stabilitasnya Soekarno memerlukan kekutan politik peyeimbang di masa-masa Indonesia mengalami kemelaratan, kemiskinan, dan chaos di mana-mana. Dan sekali lagi tanpa menyinggung cidera politik negeri ini, bahwa golongan Komunis Indonesia juga memiliki nilai perjuangan dalam memberikan kemerdekaan di negara ini, dan selanjutnya sejauh stigmaisasi yang terus melekat tentang bahwa PKI itu pembunuh, pemerkosa, dan perebut hak rakyat maka sejauh itu pula komunis Indonesia akan menjadi “najis” negeri ini.

# # #
*)Penulis adalah aktivis GmnI Cab. Kota Medan
Komisariat FISIP USU

Soekarno dan Cita Politik KeIndonesiaan

Soekarno Muda dan Cita Politik Ke-Indonesia-an

Ridho Ramadhan Nasution*

“Dalam cita-cita politikku, aku ini nasionalis

Dalam ciata-cita sosialku, aku ini Sosialis

Dalam cita-cita sukmaku, aku ini sama sekali Theis

Sama Sekali percaya Tuhan, Sama sekali mengabdi kepada Tuhan”

(Soekarno, Sarinah, 1947)

Itulah sepenggalan tulisan dan ungkapan Soekarno yang menggambarkan pemikirannya dan tepat pada tanggal 6 Juni nanti kita akan memperingati HAUL Bung Karno, yang Ke-107, dan hal ini sedikit mengundang pertanyaan kenalkah kita dengan Soekarno. Walau secara raga kita tidak lagi bisa dekat dengannya, tetapi secara pemikiran kita bisa saja syahdu dengan apa yang menjadi cita perjuangan Soekarno. Dan kita tidak perlu sekalipun menjadi Soekarnolog untuk mengenal pemikiran politik Soekarno, hanya diawal kita harus memiliki rasa dan minat untuk mengetahui dan menghindarkan skeptisisme.

Mengenal Soekarno.

Soekarno, atau yang kita kenal dengan Bung Karno, adalah pejuang progressif revolusioner di masa-masa pergerakan kemerdekaan sekitar tahun 1920-an sampai dengan pengasingan yang menghantarkan kematiannya ditahun 1970. Soekarno dengan nama kecil Kusno lahir dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Nyoman Rai pada 6 Juni 1901, di Lawang Seketeh, Surabaya. Ia lahir ditengah lingkungan sosial-jawa yang mengajarkannya tentang nilai gotong royong, kesederhanaan, falsafi dunia pewayangan sampai dengan hal-hal yang berbau ‘klenik’ (mistik), yang didapatkannya sewaktu tumbuh dan besar di daerah Tulung Agung.

Soekarno yang lahir ditengah keluarga jawa priyayi, dan Ayahnya yang seorang Kepala Sekolah Pribumi kelas dua di daerah Mojokerto, membuka kesempatan yang luas bagi Soekarno untuk menempuh berbagai pendidikan formal di masa Kolonial Belanda, dimulai dari Froble (Sekolah Umum untuk usia pra-sekolah), Hollands Inlandsche School (Sekolah Pribumi Belanda), Europeeshe Lagere School (Sekolah Dasar Eropa), Hoogere Burger School (Sekolah Lanjutan Tinggi) sampai dengan Sekolah Tinggi Teknik Bandung.

Kesempatan untuk menempuh pendidikan di HBS di Surabaya membawa kesan tersendiri, karena semasa tinggal di Surabaya, Soekarno memulai petualangan politiknya, mulai dari kesempatan untuk berkenalan dan berdiskusi dengan para tokoh pergerakan nasional di masa itu, dimulai dari HOS Tjokroaminoto, Sneevliet, Douwes Dekker, Agus Salim, dan tokoh Kelompok Sosial Demokrat di Hindia Belanda; Tan Malaka, Semaun dan Alimin; sampai dengan keterlibatan Soekarno di Sarekat Islam. Soekarno muda yang sedang menempuh pendidikan di Surabaya juga banyak menghabiskan waktu untuk menikmati berbagai bacaan mulai dari Ernest Renan, Kautsky, Otto Beaur, Freidich Engels sampai dengan pemikiran Marx yang banyak mempengaruhi pemikiran Soekarno yang revolusioner, hal ini yang sangat membedakan Soekarno dengan remaja seusianya kala itu.

Soekarno Muda Dan Marhaenisme Awal

“Aku baru berumur 20 Tahun ketika suatu ilham politik menerangi pemikiranku. Mula-mula ia hanja berupa kuntjup dari suatu pemikiran jang mengorek-ngorek otakku, akan tetapi tidak lama kemudian ia menjadi landasan tempat pergerakan kami berdiri. Kalimat ini di utarakan oleh Soekarno di dalam buku Penyambung Lidah Rakyat, yang di tulis oleh Cindy Adams, sebagai sebuah gambaran Soekarno muda disaat ia mendapatkan sebuah ilham politik yang lahir dari sebuah anti-tesis keadaan masyarakat yang telah masuk kedalam kemelaratan dan keadaan masyarakat yang Marhaen akibat dari Kolonial Belanda di masa itu. Dan sebagai sebuah anti-tesis keadaan masyarakat Indonesia maka Marhaenisme lahir.

Sebagai sebuah gambaran umum saya mencoba melihat beberapa faktor yang membentuk pola pemikiran politik Soekarno dan Latar belakang sosial politik tumbuh dan berkembangnya Marhaenisme sebagai sebuah anti-tesis kolonial Belanda di sekitaran tahun 1920-an. Pertama, faktor internal Soekarno sebagai pemikir, ada 4 faktor yang mempengaruhinya; (1)Kehidupan Komunal Jawa yang menghadirkan ide-ide persatuan, (2)Ke-Islam-an menciptakan sebuah sikap Nasionalisme Yang Theis, (3)Pendidikan Belanda yang diskriminatif dan tumbuhnya sikap anti-kolonial, dan (4)Sarinah sebagai kewajiban wanita Indonesia dalam pergerakan.

Kedua, faktor latar sosial politik Ke-Indonesia-an, ada 6 faktor yang mempengaruhi pemikiran Soekarno; (1)Masuknya pengaruh Liberalisasi ekonomi Eropa Barat, (2) Permasalahan agraria karena bergantinya sistem tanam paksa menjadi sewa tanah sejak masuknya kapitalis Eropa Barat, (3)Permasalahan Perburuhan karena rakyat dipaksa bekerja di dalam perkebunan akibat dari beralihnya kepemilikan tanah ke Perkebunan Kapital, (4)Tingginya angka kemelaratan dan tingginya resiko kematian akibat adanya selisih nilai, (5)Masuknya pengaruh Marxisme, (6)Lahirnya Perserikatan Komunis di Hindia Belanda sebagai motor pergerakan revolusioner dalam menentang Kolonial Belanda.

Marhaenisme sendiri dalam pandangan Soekarno adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalamnya menyelamatkan kaum Marhaen; kaum proletar Indonesia, kaum tani melarat, kaum melarat keseluruhan; dengan cara perjuangan yang revolusioner. Cara perjuangan yang dimaksudkan oleh Soekarno secara lebih jelas kita dapatkan di dalam buku DBR Jilid-I, yaitu; Non Kooperasi, Menggalang kekuatan (Machtvorming), Membangun kesadaran melalui Massa aksi, dan Radikalisme.

Integrasi Pemikiran Politik Soekarno

Selanjutnya secara singkat kita akan melihat pengaruh pemikiran politik Soekarno dan perubahan politik Indonesia. Azas dan doktrin perjuangan Marhaenisme yang merupakan deduksi pemikiran politik Soekarno banyak telah mempengaruhi bentuk pergerakan bangsa, dan para pengikut ajaran Soekarno banyak menginterpertasikan Marhaenisme itu sendiri sebagai sebuah cita Sosialisme Indonesia, sebuah marxisme dalam terapan yang telah berelaborasi dengan struktur sosial politik Ke-Indonesia-an.

Mereka yang telah menjadi objek dari kekuatan ekonomi kapital, yang kemudian terjerembab pada sebuah alienasi, diharapkan akan bangkit dan melakukan berbagai perlawanan baik secara sosial-ekonomi dan sosial-politik demi sebuah emansipasi dalam kenyataan taraf materi, untuk melepaskan diri dari belenggu kapital dan domain pemikiran liberal yang menguasai Indonesia ke-kini-an. Karena otokrasi dan antagonisme kapitalisme pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan di tengah rakyat Indonesia. Dan dalam taraf dialektikan keIndonesiaan, Marhaenisme lahir sebagai sebuah pisau analisa untuk melihat gejala, fenomena, dan peristiwa sosiologis-politik di Indonesia untuk menghadirkan sebuah kesimpulan.

Pemikiran politik Soekarno merupakan sebuah konfigurasi kekuatan domestik yang menyangkut kepentingan kelompok dan negara yang berkuasa, yang menjadi penentu penting dalam perubahan politik dan kondisi rakyat Indonesia untuk masuk dalam kondisi yang sejahtera, damai, berkeadilan dan serasa sama bahagia. Keseluruhannya, menurut Soekarno sendiri adalah sebuah rangkaian fleksibilitas dan kapabilitas kapasitas ekonomi politik serta pertarungan ideologis untuk menjawab tantang progressifitas Indonesia. Maka pemikiran politik Soekarno telah mempengaruhi bentuk Ke-Indonesia-an dan memiliki relevansinya dalam kondisi kekinian.

Dalam sebuah tendensi sosiologi politik tentang penjelasan perubahan masyarakat yang dilahirkan oleh suatu transformasi masyarakat sarat akan analisa perubahan. Pada intinya pemikiran politik dan ajaran Soekarno adalah selalu mencari perubahan bentuk-nya untuk ber-elaborasi dengan hukum utama yang menggerakkan dan mengatur masyarakat sehingga dapat menjawab perubahan di dalam masyarakat. Seiring dengan keadaan di akhir dekade abad ke-20 saat ini yang begitu banyak eksplanasi dan perubahan sosial.

*) Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU

Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) cab. Kota Medan