Jumat, 26 Desember 2008

Filsafat Gila

Filsafat Gila dan Gila Berfilasafat
(Oleh: Ridho Ramadhan Nasution)*

“Ini adalah sebuah kegelisahan yang dikomunikasikan oleh seseorang, yang begitu gelisah dengan keyakinannya selama ini, seorang sahabat dari penulis, yang mencoba mempertanyakan eksistensi Tuhan.”

Prolog
Sebuah hal yang dia pikir begitu mengusik pemikiran dan batinnya, tentang pertanyaan menyangkut keberadaan zat yang lebih tinggi, yang mereka namakan dengan ‘Tuhan’. Pertanyaan ini kembali timbul ketika orang mengaku sebagai saudara seimannya begitu khawatir, karena dia hidup pada lingkungan yang mereka katakan dapat ‘memurtadkan’ dirinya. Apa yang mereka pahami tentang keberadaan sebuah eksistensi diri yang lebih tinggi, dimana mereka katakan bahwa ‘jalur’ hidup ini telah begitu syahdu diatur, dan tugas serta fungsi mereka sebagai sebuah objek kehidupan hanya menjalankan tanpa tahu apa yang menjadi sebuah tujuan akhir, selain sebagian sesuatu ‘nasib’ namanya, takdir, mati, dan mendapatkan tempat dimana mereka dilahirkan kembali, sebuah bayangan yang mereka katakan dengan kehidupan akhirat. Senyum, adalah sebuah jawaban darinya, karena, dia juga tidak mengetahui kenapa keyakinan mereka begitu palsu, hidup pada sebuah dunia yang sempit dan gandrung akan sebuah simbolitas-simbolitas yang telah usang. Mereka yang hidup pada sebuah dunia ‘mitologi’ yang begitu dibatasi sebuah kefanaan kehidupan dan kenaif-an manusia. Mereka hanya yakin akan sebuah kebenaran dogmatis tanpa sebuah alasan yang kritis dan memiliki relasi, dia sampaikan bayangkan mereka tidak akan menerima bahwa seseorang yang tersesat, akan dapat melakukan hal-hal yang bijaksana. Seperti halnya dirinya yang selalu bertanya, kenapa dia harus percaya ‘Tuhan’.

Dialog dengan ide-ide abstrak
Siapa yang dapat mendeskripsikan apa itu Tuhan selain sebuah gambaran yang penuh penafsiran dan kesesatan dalam berpikir, sesuatu yang dapat mereka rasakan, tapi indera mereka tidak dapat menalarkannya, karena tidak seorang pun dapat merasakan sebuah ‘sensasi’ inderawi terhadap eksistensi materi terhadap zat yang lebih tinggi dari akal manusia tersebut. Sebuah keyakinan yang dibentuk melalui komunikasi dan cerita yang terus-menerus terulang, seperti sebuah deskripsi tentang ‘Tuhan’ dalam taraf sebuah ide-ide yang abstrak (universal). Sekali lagi dia ingin pertanyakan, deskripsi ‘Tuhan’ melalui cerita-cerita, yang memiliki relasi dan membentuk keyakinan akan sebuah keberadaan, apakah dapat dibenarkan. Atau karena mereka tidak punya deskripsi lain untuk menjelaskan Tuhan, agar dapat dinalarkan, hal ini dapat dijadikan contoh, kata dirinya, seseorang yang bernama andi tolong dideskripsikan?, pasti sebelum menjawab pertanyaan kita akan mulai bertanya, andi yang mana, apa andi yang berada dalam komunitas A, lalu kemudian bertanya apa andi yang dengan ciri B, kesemuanya akan memiliki relasi antara fakta-fakta yang ada sehingga kita dapat mendeskripsikan siapa andi. Katanya coba mereka mulai diberi pertanyaan lagi, apa ‘Tuhan’, pasti mereka tidak akan bertanya kembali dan langsung menjawab, Tuhan menurut kitab A adalah “.......”, sebuah hal yang begitu perseptual menurutnya, yang dinamakannya sebuah hal yang dogmatis dan tidak dapat kita pertanyakan atau sedikit pun tidak dapat dipertentangkan.
Mereka mungkin dapat mendeskripsikan siapa andi, tapi coba dipertanyakan seperti apa andi, adakah yang memahami pemikiran andi kecuali dirinya sendiri, kalau andi tersenyum apa dapat kita yakini dia sedang bahagia, atau saat andi begitu akrab dengan kita justru dia tidak lain adalah teman kita. Maka kita akan mengalami kesulitan memahami pemikiran andi, kata sahabat penulis. Seperti itulah dunia kita begitu sempit dan penuh kefanaan, kita dapat menggambarkan andi, tinggi, berwajah rupawan, tubuhnya wangi, sebuah data-data inderawi yang kita dapatkan melalui ‘sensasi’ yang mungkin berbeda, tapi saat kita mematikan rasa indera kita, apa andi masih ada pengetahuan kita. Jawabnya; Andi masih ada dalam ingatan kita, tapi menjadi pengulangan pertanyaan saat Andi telah melekat dalam pikiran kita, apa itu ide?, mungkin tidak. Karena ingatan dan ide yang terkandung didalamnya merupakan refleksi dari materi yang kita telah rasakan sensasinya. Yang menjadi pertanyaan, saat kita tidak pernah merasakan sebuah data-data indera tentang ‘Tuhan’.
Kenapa mereka begitu percaya?, tapi menurutnya yang mereka percaya sesungguhnya bukan ‘Tuhan’ tapi hanya cerita-cerita maupun dalil-dalil yang berulang kali disampaikan sampai kita tidak meragukan sedikit pun sebuah keberadaan. Apa ‘Tuhan’ sesuatu yang begitu mistis?, yang mereka yakini hadir melalui cerita yang berulang-ulang, dan dipahami telah mengatur masa depan yang lalu dan masa depan yang akan dijalani. Dapat dikatakan bahwa ada sebuah ‘kepalsuan telanjang’ kata sahabat penulis, seperti kita merasa kenal dengan andi kita mampu memahaminya melalui objek fisiknya tapi tidak mampu memahami sebuah keterkaitan dari sebuah mental.
Kenapa kita begitu yakin andi adalah seorang yang begitu bersahabat, tanpa kita paham apa yang membentuk diri andi, bisa jadi andi seorang yang memiliki tekanan psikis dan berbalut ‘topeng besi’ yang kita kenal sekarang. Adakah kemungkinan sebenarnya andi adalah seorang ‘pembunuh’, inilah dinamakan sebuah pengenalan intuitif. Sama halnya apa yang mereka maksud dengan ide-ide abstrak ‘Tuhan’, ada seseorang yang menjawab pertanyaan dia ini dengan “Tuhan hanya ada dipikiran, kalau kita tidak pikirkan Tuhan ada, maka Tuhan tidak ada. Tuhan ada kalau kita meyakini ada”, dan kembali ada yang menjawab “Kita hanya bisa rasakan Tuhan ketika kita sendiri dalam penat dan tertekan, serta suka berbahagia, dalam hening malam, seperti udara yang bisa dihirup tapi tidak dapat dilihat tanpa seorang dapat mengerti”.

Epilog
Coba kita lihat satu per-satu kata sahabat penulis, “..., Pertama, Tuhan ada kalau kita meyakininya”, menjadi sebuah pertanyaan kembali, bagaimana cara mereka meyakininya, sedang mereka dalam tahap deskripsi ‘Tuhan’ begitu dogmatis, percaya akan cerita yang dibawakan oleh seseorang, yang mereka katakan si pembawa ‘pesan Tuhan’, tanpa ada sebuah pemikiran kritis dan mereka begitu percaya dengan seorang atau beberapa orang yang ‘terpilih’ buat merasakan sensasi bertemu dengan ‘Tuhan’. Pada hakikatnya manusia begitu penuh kenaif-an dan hidup didunia yang fana, apa mereka yakin pula dengan keberadaan seseorang atau beberapa orang, yang telah mengalami sebuah perjalanan pemikiran, menjadikan mereka yakin terhadapnya, karena mereka hanya berkenalan dengan mereka lewat beberapa ‘pesan’ melalui kitab-kitab yang ada. Sama halnya dengan sebuah ruang pemikiran yang dapat selalu di-kritisi, kenapa tidak ada tangan yang kentara untuk mengkritisi ‘pesan-pesan Tuhan’ yang telah disampaikan melalui alam pemikiran manusia.
Kedua, mereka akan kembali menjawab, Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, dan bersifat wujud saat kita yakin kepadanya, dan dapat dirasakan saat mereka berlimpah ‘makna’, mereka bersyukur, saat mereka surut ‘makna’ akan mengadu melalui kata-kata, yang mereka katakan sebagai do’a, obat yang paling mujarab. Sama seperti jawaban yang kedua “Kita hanya bisa rasakan Tuhan ketika kita sendiri dalam penat dan tertekan serta suka berbahagia dalam hening malam...”, jadi mereka memang benarkan, ‘Tuhan’ hanya suplemen dari esensi kehidupan, ada disaat mereka membutuhkannya untuk pelengkap ruang pikiran yang kosong dan fana. Atau memang manusia sendiri adalah ‘Tuhan’ bagi dirinya. Karena tidak ada yang membatasi dirinya dari sesuatu yang dianggap tidak bijaksana kecuali materi dan refleksi ide-ide dalam penalarannya sendiri, manusia sendiri yang membuat sejauh mana batasan penalarannya, yang tidak mampu mencari sebuah nilai dan akal budi kehidupan dari sebuah pemikiran yang kritis.
Selanjutnya menjadi pertanyaan bagi mereka, apa dia, sahabat penulis, layak berdiri ditengah mereka, karena dia ibarat orang yang telah dianggap gila, ini dapat dipahami dengan relasi-relasi masa depan yang lalu. Dimana orang-orang yang mempertanyakan hal-hal di luar ruang penalaran mereka akan dianggap ‘sebjek’ yang gila dan lebih baik dianggap mati. Kawan dengan segala kenaif-an dirinya sebagai manusia, bukan berarti dia menolak segala mental dari luar ruang dirinya. Kalau pun kalian menganggap dirinya sedang dalam sebuah sesat dalam berpikir, maka jawablah kenapa dia harus percaya ‘Tuhan’, dengan jawaban yang dapat diterima oleh kenaifan dirinya dengan segala keterbatasan penalaran dirinya. Kalau mereka dapat mengeluarkan dia dalam ruang-ruang pikir dan nalarnya sekarang maka bahwalah dia dengan syahdu. Dia bukan ingin mereka lantas mengusirnya dari tempat-tempat yang dianggap suci, dan dia dianggap ‘najis’nya. Tapi ajarkan dia disana untuk merasakan sensasi inderawinya untuk berkenalan dan percaya kepada zat yang lebih tinggi dan agung, yang mereka namakan “TUHAN”.

* * *

*) Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) cab. Kota Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar